OPTIMALISASI DESENTRALISASI FISKAL DAN PELUANG MEWUJUDKAN GOOD LOCAL GOVERNANCE DI INDONESIA

Ditulis Oleh: Fatihul Faizun
Untuk memenuhi tugas mata kuliah "Desentralisasi dan Reformasi Birokrasi Pemerintah Daerah" Magister Ilmu Administrasi di Universitas DR Soetomo Surabaya Tahun 2020

PENDAHULUAN
        Good Local Governance secara harfiah dapat diberikan pengertian sebagai Tata Kelola Pemerintah Daerah yang Baik. Secara umum konsep pada istilah tersebut berasal dari kata Good Governance, yang mempunyai arti pengelolaan pemerintahan yang baik. Dengan pengertian bahwa tatalaksana pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Menurut Lembaga Administrasi Negara (LAN) dinyatakan bahwa governance adalah proses penyelenggaraan kekuasaan negara dalam melaksanakan penyediaan public good and services. Praktek terbaiknya disebut good governance (Joko Widodo, 2001: 18).
        Pembahasan tentang good govenance di Indonesia mulai marak sejak diberlakukannya system deserntralisasi (2001). Substansi atas implementasi deserntralisasi di Indonesia ada tiga unsur, yakni desentralisasi administrasi, desentralisasi politik dan desentralisasi Fiskal. Dalam konteks Negara berkembang, mengutip pendapat Smith, Hidayat (2005) menjelaskan bahwa sedikitnya ada tiga alasan utama mengapa sebagian besar Negara berkembang menganggap penting untuk mengaplikasikan densetralisasi fiskal, yaitu; untuk menciptakan efisiensi penyelenggaraan administrasi pemerintahan, untuk memperluas otonomi daerah, dan pada beberapa kasus sebagai strategi untuk mengatasi instabilitas politik.
        Hirawan (2007), dia menyatakan bahwa otonomi daerah sebagai landasan dari pelaksanaan desentralisasi adalah untuk memenuhi tujuan demokratisasi demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Artinya, kebijakan desentralisasi ini dimaksudkan untuk menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang demokratis dan memberikan pelayanan masyarakat yang jauh lebih baik. Dengan adanya kewenangan yang luas bagi pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan, maka diharapkan tujuan pembangunan ekonomi yang sasaran akhirnya adalah kesejahteraan masyarakat dapat lebih cepat tercapai.
        Seperti yang sudah disebutkan diatas bahwa impelemntasi konsep deserntraliasi di Indonesia dimulai sejak reformasi, yakni melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, kemudian diikuti dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dengan Daerah (desentralisasi Fiskal). Khusus untuk desentraliasi Fiskal pada perimbangan keuangan pusat dengan daerah mengalami perbaikan melalui revisi UU 25 Tahun 1999 menjadi UU No.33 Tahun 2004.
        Di dalam UU No. 9 Tahun 2015 Tentang Pemerintahan daerah (revisi terakhir) dan UU No.33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Daerah Pada konteks tatakelola pemerintahan yang baik (bersih dari KKN) tentunya menjadi cita-cita Bersama, tidak lain untuk optimalisasi agenda pembangunan di setiap daerah. Maka dari itu, tulisan ini dimaksudkan untuk mengurai persoalan dalam pelaksanaan desentralisasi di Indonesia, yang kemudian justru dapat dijadikan peluang untuk mewujudkan good local governance (tatakelola pemerintahan yang baik; bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme) di setiap daerah di Indonesia. Atas implementasi system desentralisasi di Indonesia, pemerintah tidak sedikitpun pesimis. Hal tersebut dapat kita potret dari sekian dinamika peraturan yang menyandinginya sejak reformasi hingga masa sekarang ini.

KAJIAN PUSTAKA

Prinsip-Prinsip Good Governance
    Menurut UNDP (1997), prinsip-prinsip Good Governance itu terdapat 9 (sembilan) prinsip untuk melaksanakan praktik tata pemerintahan yang baik, meliputi:

  1. Partisipasi Masyarakat: Setiap warga masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan harus  memiliki hak suara yang sama dalam proses pengambilan keputusan, baik secara langsung atau melalui perwakilan, sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya masing-masing
  2. Aturan Hukum (Rule Of Law): Kerangka aturan hukum dan perundang-undangan haruslah berkeadilan, ditegakkan dan dipatuhi secara utuh.
  3. Transparansi: Transparansi harus dibangun dalam kerangka kebebasan aliran informasi.berbagai proses, kelembagaan, dan informasi harus dapat diakses secara bebas oleh orang yang membutuhkan.
  4. Daya tangkap: Setiap institusi harus diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan.
  5. Berorientasi consensus: Pemerintah yang baik harus bertindak sebagai penengah bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesepakatan yang terbaik bagi kepentingan masing-masing pihak dan dimungkinkan dapat diberlakukan terhadap berbagai kebijakan yang ditetapkan pemerintah.
  6. Berkeadilan: Pemerintahan yang baik harus memberikan kesempatan yang sama baik laki-laki atau perempuan dalam upaya mereka meningkatkan dan memelihara kualitas hidupnya.
  7. Efektifitas dan efisiensi: Setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya berbagai sumber-sumber yang tersedia.
  8. Akuntabilitas: Para pengambil keputusan dalam organisasi sektor publik, swasta atau masyarakat memiliki pertanggung jawaban kepada publik.

Visi strategi: Para pemimpin dan masyarakat harus memiliki perspektif yang luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan membangun manusia, Bersama dengan dirasakannya kebutuhan untuk pembangunan tersebut.

Pilar - Pilar Good Governance
    Prinsip-prinsip good governance tidak akan bermakna ketika tidak ditopang oleh pilar-pilar yang menjadi pendukungnya. Yakni negara, masyarakat, dan sektor swasta. Kolaborasi antara ketiganya akan menyempurnakan pelaksanaan konsep good governance.

Pada praktek kepemerintahan terdapat banyak pelaku atau aktor yang dapat diidentifikasikan, mencakup individual, organisasi, institusi, dan kelompokkelompok sosial yang keberadaannya sangat penting bagi terciptanya kepemerintahan yang efektif. Secara garis besar dapat dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu: ( Idup Suhadi dan Desi Fernanda ( 2001 : 27-28).

  1. Negara / Pemerintah: Konsepsi kepemerintahan pada dasarnya adalah kegiatan kenegaraan, tetapi lebih jauh dari itu melibatkan pula sektor swasta dan kelembagaan masyarakat madani (Civil Society Organization). Pengertian negara (state) atau pemerintahan dalam hal ini secara umum mencakup keseluruhan lembaga politik dan sektor publik. Peranan dan tanggung jawab negara atau pemerintah adalah meliputi penyelenggaraan kekuasaan untuk memerintah, dan membangun lingkungan yang kondusif bagi tercapainya tujuan pembangunan baik pada level local, nasional, maupun internasional dan global.
  2. Sektor Swasta: Pelaku sektor swasta mencakup perusahaan swasta yang aktif dalam interaksi dalam sistem pasar, seperti : industri pengelolaan, perdagangan, perbankan, dan koperasi termasuk juga sebagai kegiatan informal. Peran swasta sangat penting dalam pola kepemerintahan dan pembangunan, karena perannya sebagai sumber peluang untuk meningkatkan produktifitas, penyerapan tenaga kerja, sumber penerimaan, investasi publik, mengembangkan usaha dan pertumbuhan ekonomi.
  3. Civil society: Kelompok masyarakat dalam konteks kenegaraan pada dasarnya berada diantara atau ditengah-tengah antara pemerintahan dan perseorangan, yang mencakup baik perseorangan maupun kelompok masyarakat yang berinteraksi secara sosial, politik dan ekonomi. Kelembagaan masyarakat sipil tersebut pada umumnya dapat dirasakan oleh masyarakat, melalui kegiatan fasilitasi partisipasi masyarakat melalui mobilisasi
Desentralisasi Fiskal
    Terminologi desentralisasi ternyata tidak hanya memiliki satu makna. Ia dapat diterjemahkan ke dalam sejumlah arti, tergantung pada konteks penggunaannya. Berbagai definisi desentralisasi antara lain;

  1. Parson dalam Hidayat (2005) mendefinisikan desentralisasi sebagai berbagi (sharing) kekuasaan pemerintah antara kelompok pemegang kekuasaan di pusat dengan kelompok-kelompok lainnya, di mana masing-masing kelompok tersebut memiliki otoritas untuk mengatur bidang-bidang tertentu dalam lingkup territorial suatu Negara.  
  2. Mawhood (1987) dengan tegas mengatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan (devolution) kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
  3. Smith merumuskan definisi desentralisasi sebagai penyerahan kekuasaan dari tingkatan (organisasi) lebih atas ke tingkatan lebih rendah, dalam suatu hierarki territorial, yang dapat saja berlaku pada organisasi pemerintah dalam suatu Negara, maupun pada organisasi-organisasi besar lainnya (organisasi non pemerintah) (Hidayat, 2005).
  4. Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 menyebutkan bahwa pengertian desentralisasi sebagai penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (Kuncoro, 2009). Ini artinya desentralisasi merupakan pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab (akan fungsi-fungsi publik) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.

Secara garis besar, kebijakan desentralisasi dibedakan atas 3 jenis (Litvack, 1998):

  1. Desentralisasi politik yaitu pelimpahkan kewenangan yang lebih besar kepada daerah yang menyangkut berbagai aspek pengambilan keputusan, termasuk penetapan standar dan berbagai peraturan.
  2. Desentralisasi administrasi yaitu merupakan pelimpahan kewenangan, tanggung jawab, dan sumber daya antar berbagai tingkat pemerintahan.
  3. Desentralisasi fiskal yaitu merupakan pemberian kewenangan kepada daerah untuk menggali sumbersumber pendapatan, hak untuk menerima transfer dari pemerintahan yang lebih tinggi, dan menentukan belanja rutin maupun investasi. Secara konseptual, desentralisasi fiskal juga dapat didefinisikan sebagai suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan yang dilimpahkan (Khusaini, 2006).

    Ketiga jenis desentralisasi ini memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya dan merupakan prasyarat untuk mencapai tujuan dilaksanakannya desentralisasi, yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Mardiasmo (2009) menjelaskan bahwa desentralisasi politik merupakan ujung tombak terwujudnya demokratisasi dan peningkatan partisipasi rakyat dalam tataran pemerintahan. Sementara itu, desentralisasi administrasi merupakan insrumen untuk melaksanakan pelayanan kepada masyarakat, dan desentralisasi fiskal memiliki fungsi untuk mewujudkan pelaksanaan desentralisasi politik dan administrative melalui pemberian kewenangan di bidang keuangan.
        Dalam pelaksanaannya, konsep desentralisasi fiskal yang dikenal selama ini sebagai money follow function mensyaratkan bahwa pemberian tugas dan kewenangan kepada pemerintah daerah (expenditure assignment) akan diiringi oleh pembagian kewenangan kepada daerah dalam hal penerimaan/pendanaan (revenue assignment). Dengan kata lain, penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintah akan membawa konsekuensi anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Hal ini berarti bahwa hubungan keuangan pusat dan daerah perlu diberikan pengaturan sedemikian rupa sehingga kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawab daerah dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan yang ada (Rahmawati, 2008). Prosesnya dapat dilakukan melalui mekanisme dana perimbangan, yaitu pembagian penerimaan antar tingkatan pemerintahan guna menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan dalam kerangka desentralisasi.
    Berdasarkan prinsip money follow function, Mahi (2002) menjelaskan bahwa kajian dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal pada dasarnya dapat menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan expenditure assignment dan revenue assigment. Pendekatan expenditure assigment menyatakan bahwa terjadi perubahan tanggung jawab pelayanan publik dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, sehingga peran lokal public goods meningkat. Sedangkan dalam pendekatan revenue assignment dijelaskan peningkatan kemampuan keuangan melalui alih sumber pembiayaan pusat kepada daerah, dalam rangka membiayai fungsi yang didesentralisasikan.

PEMBAHASAN

Mewujudkan Good Local Governance di Indonesia
    Mewujudkan konsep good governance pada tingkat pemerintah daerah (good local governance) di Indonesia dapat dilakukan dengan target capaian keadaan yang baik dan terjadinya sinergitas antara pemerintah, sektor swasta dan civil society dalam melakukan pengelolaan sumberdaya di daerah (politik, administrasi dan fiskal). Prasyarat minimal untuk mencapai good local governance adalah adanya transparansi, akuntabilitas, partisipasi, pemberdayaan hukum, efektifitas dan efisiensi, dan keadilan. Kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah harus transparan, efektif dan efisien, serta mampu menjawab ketentuan dasar keadilan. Sebagai bentuk penyelenggaraan negara yang baik maka harus keterlibatan masyarakat di setiap jenjang proses pengambilan keputusan (Hunja, 2009).
      Salah satu factor terkuat guna mewujudkan good local governance adalah Human interest sehingga hal tersebut kemudian dijadikan target focus yang diharus dilakukan. Sudah menjadi bagian hidup yang tidak bisa dipisahkan bahwa setiap manusia memiliki kepentingan. Karena dalam dalam pelaksanaan tatakelola pemerintahan benturan kepentinganakan menjadi lawan utama. Kepentingan melahirkan jarak dan sekat antar individu dan kelompok yang membuat sulit tercapainya kata sepakat.
    Pada dasarnya good local governance adalah suatu konsep yang mengacu kepada proses pencapaian keputusan dan pelaksanaannya yang dapat dipertanggungjawabkan secara bersama. Sebagai suatu konsensus yang dicapai oleh pemerintah, warga negara, dan sektor swasta bagi penyelenggaraan pemerintahaan. Negara berperan memberikan pelayanan demi kesejahteraan rakyat dengan sistem peradilan yang baik dan sistem pemerintahan yang dapat dipertanggungjawaban kepada publik. Meruju pada 3 (tiga) pilar pembangunan berkelanjutan.
    Menurut Efendi (2005) Banyak hal mendasar yang harus diperbaiki, yang berpengaruh terhadap clean and good governance, diantaranya:

  1. Integritas Pelaku Pemerintahan: Peran pemerintah yang sangat berpengaruh, maka integritas dari para pelaku pemerintahan cukup tinggi tidak akan terpengaruh walaupun ada kesempatan untuk melakukan penyimpangan misalnya korupsi.
  2. Kondisi Politik dalam Negeri: Jangan menjadi dianggap lumrah setiap hambatan dan masalah yang dihadirkan oleh politik. Bagi terwujudnya good governance konsep politik yang tidak/kurang demokratis yang berimplikasi pada berbagai persoalan di lapangan. Maka tentu harus segera dilakukan perbaikan.
  3. Kondisi Ekonomi Masyarakat: Krisis ekonomi bisa melahirkan berbagai masalah sosial yang bila tidak teratasi akan mengganggu kinerja pemerintahan secara menyeluruh.
  4. Kondisi Sosial Masyarakat: Masyarakat yang solid dan berpartisipasi aktif akan sangat menentukan berbagai kebijakan pemerintahan. Khususnya dalam proses penyelenggaraan pemerintahan yang merupakan perwujudan riil good governance. Masyarakat juga menjalankan fungsi pengawasan yang efektif dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan. Namun jika masyarakat yang belum berdaya di hadapan negara, dan masih banyak timbul masalah sosial di dalamnya seperti konflik dan anarkisme kelompok, akan sangat kecil kemungkinan good governance bisa ditegakkan.

    Sistem Hukum: Menjadi bagian yang tidak terpisahkan disetiap penyelenggaraan negara. Hukum merupakan faktor penting dalam penegakan good governance. Kelemahan sistem hukum akan berpengaruh besar terhadap kinerja pemerintahan secara keseluruhan. Good governanance tidak akan berjalan dengan baik di atas sistem hukum yang lemah. Oleh karena itu penguatan sistim hukum atau reformasi hukum merupakan kebutuhan mutlak bagi terwujudnya good governance.
    Mencari orang yang jujur dan memilik integritas tinggi sama halnya dengan mencari jarum dalam tumpukan jerami. Memilih aparatur atau pelaku pemerintahan yang unggul akan berpengaruh baik dengan penyelenggaraan negara. Korupsi yang masih tetap eksis sampai saat ini adalah salah satu faktor yang mempersulit dicapainya good local governance di daerah. Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) menjadi agenda wajib yang tidak pernah lelah untuk dilakukan. Inilah satu hal yang tidak boleh dilewatkan untuk mencapai pemerintahan yang baik.

Implementasi Desentralisasi Fiskal Di Indonesia
    Impelementasi desentralisasi Fiskal dilakukan melalui pemberian sejumlah transfer dana langsung dari pemerintah pusat ke daerah dalam rangka memenuhi asas desentralisasi, pemberian dana yang dilakukan oleh kementrian/lembaga melalui mekanisme dekonsentrasi dan tugas pembantuan, serta memberikan diskresi kepada daerah untuk memungut pajak dan retribusi sesuai dengan kewenangannya. Berikut data keuangan negara (APBN) atas desentralisasi Fiskal di Indonesia (2017,2018,2019, dan 2020)

Mewujudkan Good Local Governance Di Era Desentralisasi Fiskal
    Pemerintahan yang bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) merupakan salah satu misi dalam tatakelola pemerintahan di Indonesia. Secara umum metodologi yang dibuat oleh pemerintah dengan mengkonsolidasikan konsep good governance di semua lini struktur pemerintahan di Indonesia--khususnya sejak diimplementasikannya system deserntralisasi--merupakan Langkah yang sangat tepat, meskipun semuanya membutuhkan proses yang tidak gampang.
  Salah satu semangat dalam konsep desentralisasi adalah mendekatkan pemerintah dengan masyarakat, dengan memberikan kewenangan kepada pemerintah local (daerah) dalam melaksanakan pembangunan. Kewenangan yang diberikan oleh pemerintah tidak hanya pada persoalan administrasi dan politik, melainkan juga kewenangan mengelola keuangan (desentralisasi Fiskal) dalam rangka distribusi sumberdaya financial di daerah. Dalam konteks desentralisasi Fiskal, ada beberapa jenis kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, antara lain soal pungutan pajak dan retribusi, yang sebelumnya menjadi hak pemerintah pusat sekarang diberikan sepenuhnya kepada pemerintah daerah. Hal tersebut diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009 yang merupakan penyempurnaan dari UU No.34 Tahun 2000 dan peraturan pelaksanaannya yaitu PP No.65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP No.66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.
    Konsep ideal dalam implementasi desentralisasi Fiskal adalah bahwa pelaksanaan pembangunan di daerah harusnya bertumpu pada sumber-sumber dari daerah itu sendiri. Dalam regulasi keuangan daerah disebut dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sumber PAD berdasarkan UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah terdiri dari a. Pajak Daerah, b. Retribusi Daerah, c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan (Laba Badan Usaha Milik Daerah) dan d. Lain-lain PAD yang sah (Pasal 6 UU No.33 Tahun 2004). Diantara sumber PAD tersebut yang paling dominan yang memberikan kontribusi bagi daerah adalah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
    Yang kemudian menjadi persoalan pada kurang optimalnya pemerintah daerah dalam membiayai pembangunan di daerah karena pemerintah daerah kurang dapat menerapkan prinsip good governance. Pemerintah tidak perlu paranoid terhadap konsep konsep transparansi, partisipasi dan akuntabilitas dalam mengimplementasikan desentralisasi Fiskal, karena justru dengan mengoptimalkan prinsip good governance dapat memberikan jaminan kepada masyarakat (society) dan pihak swasta (kelompok kelas menengah; kaum terpelajar dan pelaku usaha) dalam memperoleh pelayanan, Secara otomatis kepercayaan (trust) kepada birokrasi akan muncul dengan sendirinya.  

KESIMPULAN

  1. Implementasi system desentralisasi Fiskal di Indonesia kurang berjalan optimal terbukti bahwa rata-rata PAD di setiap daerah di Indonesia belum dalam mencukupi kebutuhan anggaran pembangunan.
  2. Pengelolaan keuangan pemerintah daerah dapat berjalan optimal kalaupun pemerintah daerah dapat menjalankan prinsip yang ada dalam good governance
  3. Di era desentralisasi Fiskal seharusnya dijadikan peluang oleh pemerintah daerah untuk mewujudkan good local governance.

DAFTAR PUSTAKA

  1. UUD 1945 hasil amandemen ke-3
  2. Undang-undang No.09 Tahun 2015 Tentang Pemerintah Daerah

  3. Undang-undang No.25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasioal.
  4. Undang-undang No.33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah
  5. Peraturan Pemerintah No.12 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
  6. Rita Friyani, 2017, hasil penelitihan yang berjudul “Pengaruh Desentralisasi Fiskal, Good Governance Dan Standar Akuntansi Pemerintahan Terhadap Akuntabilitas Keuangan Pemerintah Daerah Kota Jambi (Studi Kasus Pada Dinas Pengelolaan Keuangan Dan Aset Daerah Kota Jambi)”
  7. Kardin M. Simanjuntak, 2015, Implementasi Kebijakan Desentralisasi Pemerintahan Di Indonesia, Jurnal Bina Praja, Volume 7 Nomor 2 Edisi Juni 2015: 111-130.
  8. Dokumen Negara: APBN KITA yang dikeluarkan oleh Kementrian Keuangan Republik Indonesia Tahun 2018, 2019 dan 2020
  9. LAN – BPKP. “Pemikiran tentang Framework Code of Good Corporate Governance”. Maret 2000
  10. Sidik, Machfud, 2001.  Studi Empiris Desentralisasi Fiskal: Prinsip, Pelaksanaan Di Berbagai Negara serta Evaluasi Pelaksanaan Penyerahan P3D (Personil, Peralatan, Pembiayaan Dan Dokumentasi) Sebagai Konsekuensi Kebijakan Pemerintah,  Sidang Pleno  ISEI Ke-X, pada 13-14 April 2001,  Batam.
  11. Litvack, Jennie, Ahmad, Jundid, and Bird, Richard, 198.  Decentralization in Developing Country. The World Bank, Washington, DC.
  12. Abdul Halim, 2001, Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta: AMP YKPN

Baca Juga