Ayo, Awasi Tahapan Pilkada Jatim 2018 Agar Terhindar dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
Untuk mewujudkan pelaksanaa pemilu yang bersih, jujur, transparan dan akuntable, kitas semua tidak dapat berharap pada penyelenggara Pemilu, yakni Badan Pengawas Pemilihan dan Komisi Pemilihan Umum sebagai institusi yang bertanggungjawab atas terlaksanakannya pemilihan umum. Keterlibatan setiap elemen masyarakat (partisipasi) juga sangat diharap dalam proses pemilu, karena kedua institusi tersebut masih banyak kelemahan dan kekurangan dalam mengawal setiap tahapan pemilu. Partisipasi masyarakat yang dimaksud bukan hanya rame-rame datang ke tempat pemungutan suara (TPS) pada hari H pemilihan, namun juga dapat terlibat aktif dalam melakukan pengawasan (monitoring) terhadap setiap tahapan yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum.
Bulan Juni Tahun 2018 rakyat Jawa Timur mempunyai hajat besar
(berdemokrasi) yakni Pemilihan Kepala Daerah Wakil Kepala Daerah (Pilkada)
secara serentak. Ada delapan belas Kabupaten/Kota di Jawa Timur yang
melaksanakan Pilkada, antara lain: Kab. Lumajang, Kab. Bondowoso, Kab.
Probolinggo, Kota Probolinggo, Kab. Pasuruan, Kota Malang, Kab. Nganjuk,
Kab. Jombang, Kota Kediri, Kota Madiun, Kab.Madiun. Kab. Magetan,
Kab.Tulungagung, Kota Mojokerto, Kab. Bojonegoro, Kab. Bangkalan, Kab.Sampang,
Kab. Pamekasan. Selain itu, masyarakat yang ada di delapan belas kabupaten/kota
juga akan memilih pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur.
Tahapan Pilkada serentak sudah ditentukan oleh Komisi Pemilhan
Umum Republik Indonesia (KPU RI) melalui Peraturan KPU RI (PKPU RI) No.1 Tahun
2017 Tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan
Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota
Tahun 2018. Dalam pasal 4, PKPU No.1 Tahun 2017, disebutkan bahwa tahapan
Pilkada dibagi menjadi dua yakni tahapan persiapan dan tahapan
penyelenggaraan.
Dari kedua jenis tahapan tersebut sangat rentan terjadinya pelanggaran, mulai dari proses rekrutmen hingga rekapitulasi hasil pemilihan. Tidak hanya oknum dari luar penyelenggara yang sengaja ingin mengais keuntungan secara ekonomi, melainkan oknum dari dalam penyelenggara sendiri yang berperan sebagai makelar politik terhadap kepentingan politik tertentu.
KORUPSI
Tindak pidana korupsi merupakan suatu virus yang lagi mewabah di
semua sector birokrasi dan penyelenggara Negara, termasuk penyelenggara pemilu
(KPU). Potensi dilakukan korupsi ada pada belanja pengadaan barang dan jasa.
Misalkan pengadaan logistic pemilu beserta distribusinya. Hal tersebut pernah
terjadi pada tahun anggaran 2014 di KPU Jatim pada proyek pendistribusian
logistic pemilu senilai 7 Milyar, sehingga Kejaksaan Tinggi Jawa Timur menahan
tiga orang tersangka yang diduga menyalahgunakan wewenangnya sehingga merugikan
keuangan Negara. Tiga orang yang dimaksud adalah Nanang Subandi (rekanan), dan
dua orang dari pegawai secretariat KPU Jatim.
Mengingat besaran dana
yang dimanage oleh KPU Jatim dalam Pilkada 2018, yakni 817,2. Ketaatan terhadap sistem yang telah diatur oleh regulasi sudah cukup dilaksanakan, tetapi bukan tidak
mungkin akan kembali terjadi penyalahgunaan wewenang sehingga merugikan
keuangan Negara, karena moral birokrasi dan pelaku usaha yang hingga hari ini masih belum dapat terjamin baik.
Selain pengadaan barang dan jasa yang dikerjasamakan dengan pihak ketiga, alokasi anggaran untuk sosialisasi juga sangat rawan untuk dikorupsi karena sifatnya swakelola. Seperti yang dirilis oleh Jawa Pos pada 19 Januari 2017, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Bandung menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 1,6 tahun penjara kepada
Fajri Asrigita Fadillah (pejabat KPU Kota Depok). Diduga telah melakukan tindak pidana korupsi anggaran sosialisasi Pilkada Kota
Depok 2010, dengan total kerugian negara mencapai Rp 817.309.091 juta.
KOLUSI
Kolusi mempunyai pengertian bentuk kerjasama antara pejabat
pemerintah dengan oknum lain secara illegal guna mendapatkan keuntungan. Dalam
pemilu sangat rentan terjadinya kolusi oleh penyelenggara pemilu dan oknum yang
berkepentingan (baik langsung maupun tidak langsung) terhadap kandidat
tertentu, agar dapat menang dalam pemilihan umum. Logika yang paling sederhana
adalah bahwa rekrutmen anggota penyelenggara pemilu melibatkan kekuasaan
politik DPR. Tentunya mereka yang jadi tidak memberikan cek kosong, namun
ada deal politik (kontrak) sebagai konsekuensi ketika sukses
menjadi anggota penyelenggara pemilu. Salah satu bentuk deal politiknya
adalah melancarkan anggota partai tertentu untuk menjadi anggota penyelenggara
di tiap tingkatan. Tidak lain untuk dapat membantu pemenangan pemilu dari dalam
system.
Ada system verifikasi memang dalam proses rekrutmen
penyelenggaraan pemilu, namun bukan tidak mungkin panitia rekrutmen (tim
seleksi) dapat kebobolan. Seperti yang terjadi di Aceh Tamiang. Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu Republik Indonesia (DKPP RI) pada tanggal 21
Desember 2016 merilis hasil keputusan sidang Kode Etik terhadap salah satu
anggota penyelenggara pemilu Aceh Tamiang, atas nama Saiful Anam. Yang bersangkutan
diputus telah melanggar kade etik berat sehingga DKPP RI memberikan sanksi
pemberhentian secara tetap. Menurut hasil sidang DKPP RI bahwa Saiful Anam
menjadi salah satu penyelenggara pemilu merangkap sebagai Pengurus Partai
Gerindra Aceh Tamiang melalui Surat Keputusan DPP Partai Gerindra Nomor
11-0206/Kpts/DPP-GERINDRA/2013 Tertanggal 12 November 2013
tentang susunan personalia pengurus DPC Partai Gerindra Kabupaten
Aceh Tamiang.
Kalau kita mencermati pada kasus di atas, kenapa hal tersebut bisa
terjadi meskipun calon penyelenggara harus mengisi form “tidak pernah terlibat
dalam parpol selama lima tahun terakhir di atas matrai” saat menyerahkan berkas
pendaftaran ? Mungkinkah juga terjadi pada penyelenggara pemilu di Jawa Timur
dalam Pilkada 2018 ? sangat mungkin, karena kita belum pernah melakukan audit
terhadap proses rekrutmen yang dilakukan KPU Jatim dan Bawaslu Jatim.
NEPOTISME
Dapat kita bilang, salah satu penyebab penyelenggaraan pemilu
tidak profesioal adalah adanya NEPOTISME dalam pelaksanaannya. Nepotisme
merupakan pemanfaatan jabatan untuk memberi pekerjaan, kesempatan, atau
penghasilan, bagi keluarga atau kerabat dekat pejabat, sehingga menutup
kesempatan bagi orang lain. Mengingat struktur penyelenggara hingga tingkat TPS
(Tempat Pemungutan Suara), bukan tidak mungkin hal tersebut terjadi, khususnya
pada proses rekrutmen.
DKPP RI pernah menerima pengaduan dari masyarakat Bengkulu, dengan
nomor pengaduan No. 197/VI-P/L-DKPP/2017, Tanggal 07-09-2017; teradu atasnama
Parsadaan Harahap (Ketua Bawaslu Provinsi Bengkulu). Teradu diduga
melanggar Pasal 9 huruf f, Pasal 14 huruf a, Peraturan Bersama Komisi Pemilihan
Umum, Badan Pengawas Pemilihan Umum, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2012, Nomor 11 Tahun 2012, dan Nomor 1 Tahun 2012
tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Dan Pasal 1 angka 5 UU Nomor 28 Tahun
1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bebas dan Bersih dab Bebas Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme; Bahwa dalam proses rekrutmen anggota Panwaslu Kabupaten Bengkulu
Tengah, dari 6 besar Anggota Panwaslu Kabupaten Bengkulu Tengah salah satunya
adalah Asmara Wijaya, yang merupakan adik kandung Tim Seleksi atas nama Dr. Hj.
Yunilisiah, M.Si;
***
Dari sekian tahapan yang
sudah ditetapkan oleh KPU banyak cela bagi para makelar politik untuk membangun
konspirasi dengan oknum penyelenggara pemilu guna memenangkan candidate
tertentu. Misalkan, manipulasi suara. Pada konteks ini, kita harus aktif monitoring
tahapan data pemilih, mulai dari pengolahan Daftar Penduduk Potensial Pemilih
Pemilihan (DP4) hingga pemutakhiran data dan daftar pemilih. Tahapan DP4
dilakukan pada 24 Nopember 2017 hingga 30 Desember 2017.
Kenapa harus kita
monitor secara aktif, karena bukan tidak mungkin mereka akan melakukan kejahatan secara
sistematis dan massif untuk memanipulasi suara. Metode yang dilakukan oleh oknum tertentu dalam melakukan manipulasi hasil rekapitulasi adalah dengan memanfaatkan nomor induk
kependudukan ganda (NIK) dan penduduk yang sudah meninggal yang masih masuk
dalam DPT. Serta 2,5% dari jatah (selisih) surat suara di TPS. Tentunya hal tersebut bisa dilakukan dengan bekerjasama dengan
para penyelenggara pemilu.
Sebagai bagian dari masyarakat Jawa
Timur, kita semua berharap pelaksanaan Pilkada Jatim oleh KPU Jatim dan Bawaslu
Jatim dapat terlaksana secara jujur, adil dan mempunyai berkepastian
hokum (UU No.7/2017). Untuk itu, ayo awasi bersama-sama tahapan Pilkada Jatim 2018, agar pelaksanaan Pilkada Jatim 2018 dapat berjalan dengan jujur, adil, dan akuntabel (bebas KKN).
Ditulis oleh:
Fatihul Faizun
Aktifis Pusat Studi Kebijakan Publik dan Advokasi