PEJABAT KEJARI SIDOARJO (MASIH) MANUSIA, BUKAN MALAIKAT
Dalam Undang-Undang No.16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 2 ayat (1) ditegaskan bahwa “Kejaksaan R.I.
adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang
penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”. Kejaksaan sebagai
pengendali proses perkara (Dominus Litis),
mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi
Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan
atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana.
Disamping sebagai penyandang Dominus
Litis, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan
pidana (executive ambtenaar). Karena
itulah, Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini dipandang lebih kuat dalam
menetapkan kedudukan dan peran Kejaksaan RI sebagai lembaga negara pemerintah
yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan.
Mengacu pada UU tersebut, maka
pelaksanaan kekuasaan negara yang diemban oleh Kejaksaan, harus dilaksanakan
secara merdeka. Penegasan ini tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 16 Tahun
2004, bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan
negara di bidang penuntutan secara merdeka. Artinya, bahwa dalam melaksanakan
fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan
pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi jaksa
dalam melaksanakan tugas profesionalnya
Betapa mulia amanat yang diemban Kejaksaan
dalam penegakan hukum di Indonesia, sehingga harus dilaksanakan secara “merdeka”.
Dalam arti saat Kejaksaan melakukan pengawalan terhadap suatu kasus hukum harus
dilakukan secara professional dan independent, anti intervensi dengan pihak
manapun apalagi oknum pejabat pemerintah. Meskipun begitu, bukan berarti
pejabat Kejaksaan adalah bagian dari malaikat; melaksanakan tugas tanpa khilaf
dan dosa, sehingga—di era keterbukaan seperti ini—juga sah untuk dikritisi guna
ke depan lebih baik.
Struktur Kejaksaan dibagi menjadi
tiga; 1) Kejaksanaan Agung (pusat) yang berdomisili di Ibu Kota Negara, 2) Kejaksaan
Tinggi yang berkedudukan di Ibu Kota Provinsi, 3) Kejaksaan Negeri yang yang
berkedudukan di Ibu Kota Kabupaten/Kota.
Kinerja Kejaksaan Negeri Sidoarjo
pada dua tahun terakhir perlu diapresiasi oleh seluruh masyarakat Sidoarjo,
karena prestasinya menangkap para koruptor kakap yang selama ini menjadi biang
kerok raibnya uang rakyat Sidoarjo milyaran rupiah bahkan trilyunan. Ada beberapa
skandal korupsi yang berhasil dibongkar (meskipun belum optimal) oleh Kejaksaan
Negeri Sidoarjo, antara lain Pejabat Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PDAM Delta
Tirta dan Perusahaan Daerah (PD) Aneka Usaha, dan skandal penyalahgunaan
wewenang di tubuh Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan (DP3). Serta banyak
kasus hukum korupsi yang melibatkan kepala desa dan perangkat yang sukses diobrak-abrik oleh Kejaksaan Negeri
Sidoarjo.
Disisi lain, kalaupun kita
cermati dari proses pengusutan skandal korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan
Negeri Sidoarjo banyak yang ganjil. Berikut analisanya:
PD ANEKA USAHA:
Pada setiap tahun Badan Anggaran
(Banggar) DPRD Kabupaten Sidoarjo membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (R-APBD) untuk ditetapkan menjadi APBD melalui Peraturan Daerah
(Perda). Semua alokasi anggaran dan realisasi pendapatan dan belanja daerah
dalam setiap tahun dibahas secara ditail, antara lain realisasi pendapatan di
sektor Gas Bumi oleh Perusahaan Daerah Aneka Usaha (PD AU). Sehingga Banggar
DPRD Sidoarjo “tidak mungkin tidak” mempunyai dokumen hasil pengelolaan PD AU
setiap tahunnya, karena DPRD mempunyai hak untuk memperoleh hasil audit yang
telah dilakukan setiap tahun oleh pihak yang berwenang, sebagaimana yang telah
disebutkan dalam UU 5/1962 Tentang Perusahaan Daerah, Pasal 27, ayat 1 dan ayat
2.
Dari hasil kajian dan investigasi
yang dilakukan oleh PUSAKA, bahwa di tahun 2013 dalam LKPJ Bupati tidak
ditemukan nilai setoran dari hasil penjualan Gas Bumi oleh PD AU. Dan dalam
dokumen tersebut hanya menyebutkan pendapatan (keuntungan) dari unit usaha
Delta Grafika (salah satu unit usaha yang ada dibawah naungan PD AU). Melihat
dari beberapa fakta dokumen tersebut, tentunya kita dapat menilai bahwa
indikasi raibnya uang rakyat pada PD AU bukan tidak mungkin merupakan hasil
dari Konspirasi oknum pimpinan DPRD (banggar) dengan oknum pejabat PD AU dan
SKPD Terkait (dikutip dari website pusaka: www.pusaka-community.org)
PDAM DELTA TIRTA
Dalam dokumen yang dikeluarkan
oleh Badan Pemeriksa Keuangan Provinsi Jawa Timur (BPK P) Nomor:
16/LHP/XVIII.SBY/01/2015 menyatakan bahwa berjalannya roda perusahaan tersebut
tidak dibarengi dengan dokumen perencanaan jangka menengah (corporate plan).
Menurut hasil audit tersebut menjelaskan bahwa corporate plan yang dijadikan
acuan oleh para pejabat di lingkungan PDAM Delta Tirta Kabupaten Sidoarjo untuk
menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKA P) masih berbentuk draft,
artinya dokumen tersebut belum bisa dikatakan sah untuk dijadikan acuan dalam
penyusunan RKAP.
Disisi lain, ada beberapa point
dalam RKA P yang tidak sesuai dengan draft corporate plan. Misalkan, rencana
penambahan pelanggan PDAM pada tahun 2014 sebanyak 10.000 SR, sedangkan dalam
dokumen RKA P menyebutkan 11.303 SR. Dan pada tabel rencana investasi yang ada
di draft corporate plan pada tahun 2014 sebesar Rp. 162.123.000.000, sedangkan
dalam dokumen RKA P disebutkan Rp. 92.628.719.500.
Dan pada dokumen yang sama
dinyatakan bahwa "rencana pengembangan air bersih perpipaan pedesaan dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tidak didukung dengan
rencana program dan pendanaan". Bagian dari sistem perencanaan sebagaimana
yang diatur dalam UU 25/2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
Bahwa setiap lima tahun sekali DRPD mempunyai kewajiban untuk mengesahkan
RPJMD. Dan setiap tahun membahas dan mengesahkan R-APBD. Dari fakta dokumen yang dikeluarkan oleh BPK
P pada awal tahun 2015 itu sudah sangat jelas, bahwa dokumen perencanaan yang dibuat
oleh PDAM Delta Tirta Kabupaten Sidoarjo bermasalah. Pertanyaannya kemudian,
kenapa hal seperti itu bisa terjadi ? Apa yang dibahas DPRD saat pembahasan
anggaran ? Dimana fungsi kontrol DPRD selama ini ?
Sebagai bagian dari masyarakat
umum, kita sah kalaupun berasumsi bahwa "ketika DPRD dapat optimal
melakukan kontrol terhadap roda berjalannya perusahaan daerah PDAM Delta Tirta,
bisa dipastikan bahwa kasus yang ada tidak akan pernah terjadi". (dikutip
dari website pusaka: www.pusaka-community.org)
DINAS PERTANIAN, PERKEBUNAN DAN PETERNAKAN (DP 3)
Kalaupun kita cermati dari
berbagai dokumen yang ada, diperoleh kesimpulan bahwa banyak catatan pada
alokasi proyek kegiatan tersebut, sehingga pihak penegak hukum diharap agar
dapat mengusut tuntas dan mengurai akar persoalan dari mana dan siapa saja yang
terlibat pada perampokan uang negara tersebut. Walhasil, nanti saat hakim
memberikan keputusan hukum bisa benar-benar tepat sasaran.
Dari dokumen laporan hasil pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan Provinsi Jawa Timur (BPK-P) Tahun 2016, menilai bahwa ada alokasi belanja pada Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan sebesar Rp14.382.420.100,00 tidak tepat sasaran. Besaran rupiah tersebut disepakati untuk alokasi belanja modal pembangunan Jalan Usaha Tani (JUT), Jalan Jaringan Irigasi Tersier (JITUT), dan sumber air. Dari 79 paket pekerjaan, ada 10 paket pekerjaan yang bermasalah, karena dibangun pada asset milik desa. Berikut titik lokasi paket proyeknya :
1. Pembangunan JUT Ds. Rejeni Kec. Krembung (Rp. 189.290.000,00)
2. Pembangunan JUT Ds.
Klantingsari Kec. Tarik (Rp. 167.790.00,00)
3. Pembangunan JUT Ds. Margobener Kec. Tarik (Rp. 189.364.000,00)
4. Pembangunan JITUT Ds. Mliriprowo Kec. Tarik (Rp.174.360.000,00)
5. Pembangunan JITUT Ds. Seketi Kec. Balongbendo (Rp. 190.949.000,00)
6. Pembangunan JITUT Ds. Kedinding Kec. Tarik (Rp.174.200.000,00)
7. Pembangunan JUT Ds. Seketi Kec. Balongbendo (Rp.189.270.000,00)
8. Pembangunan JITUT Ds. Sumokembangsri Kec. Balongbendo
(Rp.174.390.000,00)
9. Pembangunan JITUT Ds. Ploso
Kec. Wonoayu (Rp.189.000.000,00)
10. Pembangunan JUT Ds. Lambangan
Kec. Wonoayu (Rp.189.360.000,00)
Pada dokumen BPK P menyebutkan
bahwa alokasi belanja modal oleh DP3 "tidak tepat" atau "salah
penganggaran". Sehingga
merekomendasikan kepada Bupati Sidoarjo agar kedepan Kepala Dinas Pertanian,
Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Sidoarjo dapat lebih cermat dalam
menentukan alokasi belanja pembangunan di sektor pertanian, perkebunan dan peternakan.
Dari hasil audit tersebut dapat kita ketahui bahwa akar persoalan kasus
tersebut adalah proses perencanaan "yang keliru".
Keterangan yang didapat dari
salah satu pejabat di Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan, bahwa alokasi
tersebut antara lain hasil musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang),
selanjutnya disetor ke Badan Anggaran (Banggar) DPRD untuk disahkan menjadi
Rencana Kerja Pemerintah Daerah / Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD); Peraturan Daerah.
Pertanyaannya adalah apa yang
dibahas anggota Banggar saat pembahasan hasil Musrenbang ? Alokasi yang dibuat
oleh Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan "yang keliru" sampai
bisa lolos masuk ke dokumen APBD dan disahkan ? Hal tersebut layak diduga,
bahwa ada sebuah kesengajaan atas alokasi belanja tersebut, sehingga begitu
mudahnya lolos pada pembahasan oleh Banggar. Untuk itu, diharap kepada penegak
hukum, pada proses selanjutanya tidak hanya memeriksa pejabat di Dinas
Pertanian, Perkebunan dan Peternakan, tetapi juga memeriksa anggota Banggar
sebagai pertanggungjawaban mereka mengesahkan hasil Musrenbang.
Melihat sekilas uraian di atas,
dapat kita nilai, bahwa pejabat Kejaksaan Negeri Sidoarjo kurang bisa memahami Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasioan (SPPN) sebagaimana yang diamanatkan dalam
undang-undang 25 Tahun 2004 sebagai bagian dari mekanisme penganggaran. Kalau memahami,
tentunya sudah membuat keputusan yang spektakuler, misalkan memanggil
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) selaku tim anggaran yang
bertanggungjawab atas proses musrenbang di setiap level. Dan Badan Anggaran
DPRD yang secara aktif membahas dan mengesahkan hasil musrenbang. Sekali lagi,
bahwa Pejabat Kejasaan Negeri Sidoarjo bukan malaikat tapi manusia biasa yang
(mungkin) khilaf. Mudah-mudahan kedepan tidak (kembali) khilaf… AMIIN