KAJARI BARU HARUS BERANI TANGKAP SEMUA PELAKU KORUPSI DI SIDOARJO
FATIHUL FAIZUN,S.Sos. |
Serah terima jabatan Kepala
Kejaksaan Negeri (Kajari) Sidoarjo dari M. Sunarto kepada Budi Handaka bisa
dibilang merupakan babak baru; dapatkah dia (bisa) melanjutkan proses hukum
yang berhasil dibongkar Kajari yang lama? Apa justru para tikus uang rakyat itu
akan diloloskan begitu saja, dengan pendapat hukum yang tertata dengan baik dan
rapi? Bukan tidak percaya atau pesimis, karena sudah banyak contoh di level
nasional, regional dan local; diatur dengan mekanisme pra peradilan dan Surat
Penghentian Penyidikan Perkara (SP3).
Ada beberapa kasus korupsi yang
diproses Kejaksaan Negeri Sidoarjo yang mempunyai indikasi kuat melibatkan actor/elit
politik yang sampai hari ini masih belum membuat lega public di Kabupaten Sidoarjo.
Antara lain Bocornya hasil penjualan gas bumi sehingga menghilangkan pendapatan
daerah milyaran rupiah oleh Perusahaan Daerah Aneka Usaha, dan dugaan
manipulasi proyek sehingga merugikan uang Negara di tubuh Perusahaan Daerah Air
Minum (PDAM) Delta TIrta Kabupaten Sidoarjo. Serta dugaan korupsi di Dinas
Pertanian, Perkebunan dan Peternakan (DP3). Belum lagi, puluhan Kepala yang ngawor dalam memanage dana desa (DD) dan
alokasi dana desa (ADD).
Sebagaimana kajian PUSAKA tentang
dugaan korupsi di tubuh PD AU yang pernah dipublikasikan beberapa bulan yang
lalu tentang dokumen anggaran daerah; bahwa pada setiap tahun Badan Anggaran
(Banggar) DPRD Kabupaten Sidoarjo membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (R-APBD) untuk ditetapkan menjadi APBD melalui Peraturan Daerah
(Perda). Semua alokasi anggaran dan realisasi pendapatan dan belanja daerah
dalam setiap tahun dibahas secara ditail, antara lain realisasi pendapatan di
sektor Gas Bumi oleh Perusahaan Daerah Aneka Usaha (PD AU). Sehingga Banggar
DPRD Sidoarjo “tidak mungkin tidak” mempunyai dokumen hasil pengelolaan PD AU
setiap tahunnya, karena DPRD mempunyai hak untuk memperoleh hasil audit yang
telah dilakukan setiap tahun oleh pihak yang berwenang, sebagaimana yang telah
disebutkan dalam UU 5/1962 Tentang Perusahaan Daerah, Pasal 27, ayat 1 dan ayat
2. Dan dari hasil investigasi yang dilakukan oleh PUSAKA, bahwa pada dokuemn
LKPJ Bupati tahun 2013 tidak ditemukan nilai setoran dari hasil penjualan Gas
Bumi oleh PD AU. Dan dalam dokumen tersebut hanya menyebutkan pendapatan
(keuntungan) dari unit usaha Delta Grafika (salah satu unit usaha yang ada
dibawah naungan PD AU).
Info dari Kantor Kejaksaan Negeri
Sidoarjo, perkembangan terakhir atas proses dugaan korupsi di tubuh PD AU hanya
menahan lima orang tersangka, antara lain Amral Soegianto (direktur PD AU), Siti
Winarni (Kabag Umum yang juga menjabat Kepala unit Delta Gas), Imam Junaedy (Kepala
unit Delta Grafika), Khoirul Huda (Ketua Pansus PDAU DPRD), dan Yuli (accounting).
Kalau mengacu pada gambaran fakta dokumen hasil kajian PUSAKA, harusnya Kejaksaan
Negeri Sidoarjo dapat menjerat pihak-pihak terkait dengan UU 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 15, yang berbunyi; ” Setiap
orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan
tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud
Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14”, dalam hal ini adalah Kepala
Dinas Pendapatan, Tim Anggaran, dan Badan Anggaran DPRD Kabupaten Sidoarjo.
Begitu juga dugaan korupsi yang
ada di PDAM Delta Tirta. Kejaksaan Negeri Sidoarjo hanya menetapkan beberapa
orang untuk menjadi tersangka, antara lain Direktur Utama, Pejabat Pembuat
Komitmen, dan sebagian rekanan. Kenapa pihak-pihak terkait juga tidak
diperiksan dan ditetapkan menjadi tersangka hingga diadili di pengadilan ? Kemudian,
yang menjadi sangat lucu adalah kasus pidana korupsi yang menjerat kasubbang
Perencanaan Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan (DP3). Hingga hari ini
belum ada tersangka baru, malah justru pihak Kejaksaan Negeri Sidoarjo
memanggil banyak kontraktor untuk dimintai keterangan. Seharusnya pihak
Kejaksaan Negeri Sidoarjo focus pada perencanaan, karena menurut Badan
Pemeriksa Keuangan Provinsi Jawa Timur dari hasil audit yang sudah dilakukan,
justru kasus pidana korupsi yang terjadi karena salah perencanaan (saat
musrenbang). Berikut kutipan rekomendasi BPK: “Penganggaran pembangunan JUT dan
JITUT pada belanja modal tidak tepat karena penganggaran dan realisasi atas JUT
dan JITUT tersebut melalui BM, maka secara otomatis diakui sebagai aset tetap.
Atas aset tetap berupa JUT dan JITUT pada Dinas Pertanian Perkebunan dan
Peternakan sebesar Rp55.121.061.499,88 tersebut telah diusulkan jurnal
reklasifikasi dari akun aset tetap pada akun persediaan”.
Kondisi tersebut tidak sesuai
dengan: Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tanggal 22 Oktober 2010
tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 13 Tahun 2006 tanggal 15 Mei 2006 sebagaimana telah diubah beberapa kali,
terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, pada:
Pasal 52 ayat (1) Belanja barang dan jasa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50 huruf b digunakan untuk pengeluaran pembelian/pengadaan barang yang
nilai manfaatnya kurang dari 12 (duabelas) bulan dan/atau pemakaian jasa dalam
melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah. Dan Pasal 53 ayat (1)
yang menyebutkan bahwa belanja modal sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 huruf
c digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pengadaan aset tetap
berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (duabelas) bulan untuk
digunakan dalam kegiatan pemerintahan.
Menurut BPK Permasalahan tersebut
mengakibatkan anggaran dan realisasi Belanja Modal serta Belanja Barang dalam
LRA Pemerintah Kabupaten Sidoarjo TA 2015 tidak menggambarkan kondisi
sebenarnya sebesar Rp 14.382.420.100,00. Hal tersebut terjadi karena Kepala
Dinas Pertanian Perkebunan dan Peternakan kurang cermat dalam penganggaran
paket pekerjaan JUT dan JITUT. Atas permasalahan tersebut, Kepala Dinas
Pertanian, Perkebunan dan Peternakan menyatakan mengakui kondisi tersebut dan
sudah mengambil langkah dengan mengirim surat kepada Bapak Bupati perihal
penghapusan belanja modal JUT dan JITUT untuk diserahkan menjadi aset desa.
Untuk kedepan penganggaran Belanja Pembangunan Jaringan Irigasi dan Jalan Usaha
Tani akan disesuaikan. Walhasil, BPK merekomendasikan Bupati Sidoarjo untuk memperingatkan Kepala Dinas Pertanian Perkebunan
dan Peternakan agar lebih cermat dalam menganggarkan Belanja Pembangunan
Jaringan Irigasi dan Jalan Usaha Tani.
Dengan berbagai argumentasinya,
selama ini Kejaksaan Negeri Sidoarjo seakan-akan hanya melakukan penelusuran
pada kerugian Negara, meskipun juga tidak optimal. Dan terkait dengan
pemufakatan jahat yang diatur dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana
korupsi sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, terkesan diabaikan. Kita berharap
pada Kepala Kejaksaan Negeri Sidoarjo yang baru, Budi Handaka, lebih serius
untuk melakukan penindakan terhadap semua pelaku tindak pidana korupsi di
Kabupaten Sidoarjo, baik operator teknis hingga para pembantu dan semua yang
terlibat dalam pemufakatan jahat.
ditulis Oleh:
Fatihul Faizun
(Direktur Pusat Studi Kebijakan Keblik dan Advokasi Sidoarjo)